Laksmi bukan nama
karangan-karangan saja. Itu nama asli cewek 17 tahunan yang centil dan bikin
gemes. Kepanjangannya Lia Kusuma Dewi. Enaknya disingkat Laksmi, lebih gaya dan
ngota. Kalau dipanjangkan kedengarannya agak norak. Yang punya nama juga pernah
protes kepadanya namanya begitu. Padahal nama papa dan mamanya lebih gaya
daripada itu.
“Itu bukan nama sembarang orang,
lho,” kata Papa menerangkan ketika Laksmi menyampaikan protes tanpa spanduk dan
massa untuk demonstrasi.
“Bukan nama sembarang orang atau
bukan nama oprang sembarangan, bunyinya kan sama. Laksmi, kedengarannya
kampungan, Pa. Cuma nulisnya saja pakai sebutan nama Kusuma biar gaya. Bunyinya
sih sama, Laksmi. Kaya nama itu tuh, penjual sayur gendongan yang suka mangkal
disebelah!”
“Lain, dong. Orang tua penjual
sayur itu ngasih nama anaknya kan sembarangan saja. Laksmi, Bulan, Dewi,
Sukreni atau Eni tanpa tau maknanya. Nama Laksmi sih bermutu.”
“Mutunya dimana?”
“Nama itu berasal dari nama
seorang sakti dewa Wisnu yang cantik jelita. Laksmi sendiri merupakan dewi yang
memberikan kesuburan bagi makhluk di bumi dalam agama Hindu....”
“Oh, hebat kalau begitu.”
“Lebih hebat lagi karena laksmi
itu adalah seorang sakti dari Wisnu.”
“Oh!”
Hanya oh. Tapi lumayan, Laksmi
tidak kesel-kesel amat sama papanya setelah tahu riwayat nama itu. Meskipun
masih agak keki, kenapa memilih nama sakti seorang dewa, kenapa bukan nama yang
lain saja. Misalnya Putri, Indah atau yang lainnya. Tetapi nama Indah sudah ada
yang memakai. Teman sekelas Laksmi dikelas I-3 di SMA PGRI itu namanya Indah. Dia orang jawa
maksudnya, warga negara Indonesia keturunan Bali.
Di mana si anak Jawa itu
sekarang? Laksmi mencarinya pada jam istirahat pertama. Sebelum menemukan
Indah, Laksmi ketemu dulu dengan Yoga yang lagi bengong duduk di koridor
deretan kelas. Bengongnya Yoga bukan sembarang melongo. Dia ini jaginya
elektronika di kelas itu. Ada karyanya yang dipakai sekolah itu sebagai bel
masuk atau ganti pelajaran. Bunyinya aneh, seperti siulan burung, sekaligus bunyi
kucing kejepit.. kini dalam bengong yang bermutu itu, Yoga sedang merencanakan
karya barunya. Entah apa, hanya dia yang tahu dan hanya tuhan yang maha tahu.
“Halo,Ga! Nynyak tidurmu
semalam?”
Yoga terlonjak kaget.
“Uh! Bikin kaget saja,Laks!”
serunya.
Laksmi tertawa singkat saja. Dia
jago bahasa Indonesia. Perkara kalimat-kalimat indah dan mbeling, dia tidak
punya lawan di seantero dunia.
“Sapimu sudah beranak, Ga?” tanya
Laksmi.
Yoga ingat, tadi laksmi tidak
menanyakan soal sapi.
“Sudah,” jawabnya pura-pura
nyambung seolah Laksmi memang menanyakan soal sapi sungguhan, “Kamu tahu Laks,
anak sapiku akan kukasih nama siapa?”
“Nama Pak Orkes saja. Habis dia
suka nyetrap orang!”
“Hus! Ada orangnya, tuh!”
“Mana?”
Laksmi menoleh-noleh mencari Pak
Orkes, guru Olahraga & Kesehatan yang suka nyetrap itu. Nama Pak Orkes
diberikan oleh laksmi kepada guru yang tidak disukainya itu.Orkes itu singkatan
Olahraga & Kesehatan. Laksmi tidak melihat Pak Orkes yang kata Yoga ada di
situ.
“Di ruang guru!” kata Yoga.
“Astaga! Siapa nama yang akan kau
berikan pada anak sapimu?”
“Laksmi Dewi. Bagus, ya?”
“Bagus lagi kalau dikasih nama
Yoga Ananta!”
Yoga tersenyum masam.
Soal mengganti nama orang, laksmi
memanag jagonya. Yoga senang, tapi ada yang keki karena namanya diganti. Ayatrohaesyi
itu termasuk yang keki seperti Pak Orkes barangkali. Karena nama Ayatrohaesyi
itu sulit diucapkan. Dengan enak, Laksmi dengan enak mengganti Katro! Padahal
katro artinya kampungan dan bego!
Laksmi bilang begini, “Ah, apa
sih artinya sebuah nama? Tulkiyem samaJoice kan sama saja. Yang penting masih
bisa pipis!”
Lha yang benar juga. Kalau gak
bisa pipis apa gak sengsara? Orang sering lupa, bahwa bisa pipis adalah karunia
tuhan yang terbilang mahalnya.
“Jadi kamu bengong karena sedang
ngarang nama anak sapimu,Ga?”
“Sedang mikirin teman-teman”
“Sama. Aku juga begitu. Kenapa
sih anak-anak pada cemberut saja? Nggak rame kaya biasanya.. ada yang kematian
tikus, apa?”
“Indah sedang mikir berat.”
“Berat mikir apa?”
“Rahasia, kali! Dia nggak mau
ngomong. Ngga tahu sih kalau kamu yang nanya.”
“Di mana dia?”
“Di depan WC.”
“Lagi ngapain di sana?”
“cari keong racun, kali!”
“Buat bunuh diri?”
“Nggak. Mau diekspor ke Perancis
untuk nambah devisa negara.”
Laksmi mengeloyor meninggalkan
Yoga. Prcakapan di sini bisa kacau kedengarannya. Tapi begitulah cara mereka
berdialog antarsesamanya. Orang luar boleh nggak tahu, anggota kompanyon sih
paham-paham saja.
WC itu terletak di bagian sekolah
yang agak terkecil. Dengan bangunan-bangunan lain dibatasi oleh lapangan berumput
dan rimbunan tanaman bunga yang setiap saat tatanannya berubah.
Laksmi melihat Indah sedang duduk
di atas sebongkah batu buatan.Pegang buku terbuka, pegang bolpoin pula. Dia
seperti menulis, tapi sekaligus seperti bengong.
“He! Kamu sedang ngabsen orang be’ol, ya?” tegur Laksmi serempak begitu
dia nongol di ujung deretan WC.
Yang lagi bengong kaget, tentu
saja.
“Oh, kamu! Kirain....”
“Keong racun? Kamu lagi ngapain
disini?”
“Riset.”
“Ngitung berapa anak keong
racun?”
“Wabah morbili sedang mengganas.
Aku mewawancarai setiap pemakai jasa WC.”
“Hasilnya?”
“Lima puluh persen ada indikasi
terserang wabah. Dua puluh lima persen kebanyakan saus tomat...”
“Lainnya keracunan tempe
bongkrek?”
“Salah! Ada jenis penyakit baru
yang belum ditemukan identitas virusnya!”
“Penyakit apa itu? Penurunan isi
kantong karena kantin menyediakan bakso formula baru?”
“Semacam itu. Tapi jenis virusnya
aneh. Cepat menular. Lihat saja Yoga!”
“Apa gejala-gejala penderitanya?”
“Selalu ngantuk, rahang kaku,
mata merah, dan mudah gelisah!”
“Dirawat di mana?”
“Green Hopuse Palace.”
“Wah! Gawat itu! Ayo kita besuk!”
Indah bangkit dari tempat
duduknya, batu buatan teman sekelasnya itu. Buku matematika digulung dan
disodokkan ke dalam saku rok seragamnya. Dia memang sedang mengkaji rumus-rumus
matematika yangbaru saja diajarkan Pak Angka.
Gree House Palace terletak di sudut belakang kompleks sekolah.
Merupakan bangunan mungil berdinding tua. Beberapa bagian dinding itu berwarna
hijau karena lumut. Di sekitarnya tumbuh sri rejeki, kuping gajah, pohon
teh-tehan, segala macam tanaman perdu, dan pakis. Maka Laksmi menamakan
bangunan dan suasana penuh hijau itu Green
House palace tanpa maksud mengejek dan protes terhadap kejorokan pengurus
kantin. Bangunan hijau lumutan itulah kantin sekolah. Putri sedang mojok di
sana. Ngga makan, nggak ngapa-ngapain. Sekitarnya penuh manusia cuek.
Kehadiran Laksmi membuat
kegaduhan pecah serempak. Laksmi seperti bintang di tengah fans saja. Dia
berwajah manis tapi yakin bukan itu yang membuatnya top di kalangan teman-teman
sesekolah. Ada daya pikat lainnya. Entah apa. Mungkin karena tomboinya. Mungkin
juga karena ia pilihan tuhan untuk menyemarakkan dunia. Tingkahnya sering bikin
keki, tapi tak ada orang yang benar-benar bisa membencinya.
“Halo, Laksmi! Selamat siang deh,
buat kamu!” seru seseorang, anak lelaki.
“Apa kabar dunia hari ini?” tanya yang lain.
“Masih seperti kemarin. Israel
ngotoh belum mau damai sama tetangganya!” sahut Laksmi seenaknya, lalu
mendekati Putri.
“Bakso formula ini bikin badan segar,
Laks!” seru seorang anak perempuan. “Cobain, deh. Nanti kamu pasti ketagihan.
“Aku bisa bikin bakso dengan
resep dari Afrika. Kamu semua diam! Aku sedang menghemat kata-kata, tahu nggak?
Kalau kebanyakan ngomong yang nggak mutu, baterainya cepat habis!”
Anak-anak tertawa berderai.
Laksmi memang selalu menggemparkan. Padahal dia tidak merasa mengobok-obok
suasana, tidak pernah bertingkah untuk
menarik perhatian supaya dirinya tetap top
rating.
Putri sendiri segera bangkit dari
semua lamunannya. Matanya tampak merah, seperti orang kurang tidur. Tapi
sikapnya gelisah. Ia tidak berkata-kata. Seolah rahangnya terbuat dari besi dan
engsel-engselnya kurang oli.
“Betul juga hasil risetmu,
indah!” kata Laksmi. “Keadaannya sudah parah begini. Harus dikarantinakan.
Kalau enggak, virusnya bisa menyebar kemana-mana. Kita semua bakal kena
bencana, lho!”
“kamu ngomong apaan, sih?” tanya
Putri.
“Ih! Serem, ya? Suaranya seperti
lagu kematian!”
Indah tertawa-tawa. Dialah orang
pertama yang mengetahui keadaan Putri. Si Centil ceria itu tidak lincah lagi
seperti biasanya. Ia menjadi makhluk pengantuk. Matanya merah dan kuyu seperti kurang tidur. Jarang bicara. Kalau
sendirian kadang tampak gelisah. Gejala apa ini? Memang dia tidak penyakitan
seperti kata Indah kepada Laksmi. Tapi perubahan sikap Putri itu cukup
meresahkan.
Sekarang Putri bangkit.
“Jngan macam-macam! Kata Putri
tiba-tiba, aku sedang pusing mikiran keluargaku.”’
“Oh jadi kau sudah berkeluarga?
Kok aku gak pernah terima undangan? Ih, jahat kamu!” sahut Laksmi,
berlagakpenuh sesal sungguhan.
Putri tidak mengacuhkan ledekan
Laksmi. Ia melanjutkan ucapannya, “Aku lagi sedih, bpak di-PHK dari kantornya.”
“Oh!” kali ini Laksmi kaget
sungguhan. Belakangan ini tiga huruf yang diberendengkan itu sangat populer. Artinya,
Pemutusan Hubungan Kerja. Orang yang di-PHK itu celaka. Alamat anak-anaknya
bakal nggak bisa makan bakso, bayar SPP, atau malah nggak bisa sekolah. Dulu
istilahnya lebih sadis lagi : dipecat. Tapi sadis atau tidak, akibatnya sama
saja.
“Kapan itu, Put?” tanya Laksmi
prihatin.
“Sudah lama. Hampir setengah
tahun.”
“Lho! Kok kamu baru kasih tahu
sekarang?” cetus Laksmi. Kali ini juga penuh sesal sunggguhan.
“Aku nngak ingin bikin kalian
ikut sedi9h. Habis ngapain ikut sedih? Kalian juga nggak bisa apa-apa, kan?”
“Kenapa ayahmu dipecat dari
pekerjaannya? Korupasi, ya?” tanya Laksmi, tanpa maksud mengejek. Sebab dia
tahu ayah Putri bukan potongan koruptor.
“Lumayan kalau bapak korupsi.
Biar dipecat juga punya modal. Kamu tahu
kan, bapak hanya pegawai rendahan dipabrik pipa?”
“sekarang tahu, karena kamu kasih
tahu.”
“Pabrik pipa itu mengalami
kesulitan karena berkurangnya pesanan. Jumlah pegawainya dikurangi. Bapak
termasuk pegawai yang kena sial.”
“Gila! Punya orang mana tuh
pabrik pipa itu?”
“Indonesia.”
“Oh. Kukira punya orang asing.
Mending kita ngajak perang aja pemiliknya kalau pemiliknya orang asing.”
“Ini serius, Laks!” kata Indah
“jangan main-main!”
“Aku juga serius! Lalu setiap
malam kau ngelamun, makanya wajahmu kusut kaya kuntilanak mejen begini?”
Nadila tidak menjawab pertanyaan
itu.nadila tampak semakingelisah. Ada ssuatu yang dicemaskannya. Itu
terlihat dari kepalanya yang menunduk,
lehernya yang menegang, dan dadanya yang turun naik dengan irama tidak tetap.
“Sudahlah, Put,” hibur Indah, “jangan
terlalu dipikirkan. Nanti juga ada jalan keluarnya. Eh... maksudku... nanti
juga ayahmu kerja lagi.”
“Bapak tidak punya keahlian
apa-apa,” kata Indah pilu, “Bapak hanya bisa jadi pekerja kasar...”
Indah kehabisan kata-kata untuk
menghibur Putri. Ketika ketemu Yoga di depan kelas, Laksmi hanya mengerdikkan
bahunya. Disudut kelas itu Ayatrohaesyi diam. Sesaat bertukar pandangan dengan
Laksmi.
“Gue sudah tahu semuanya!”
serunya. Tapi kata-kata itu hanya diserukan dalam hatinya. Mulutnya tetap
tertutup. Duka Putri ini sungguh serius. Kusutnya wajah Putri juga misterius.
Setengah ahun yang lalu bapaknya jadi penganggur, tapi kenapa baru sekarang ia
tampak begitu loyo dan selalu mengantuk? Ayatro tidak mau banyak bicara. Tapi
ia punya cara untuk menyingkapkan misteri.
0 komentar:
Posting Komentar