Rabu, 12 Desember 2012

Putri, Oh Putri





Laksmi bukan nama karangan-karangan saja. Itu nama asli cewek 17 tahunan yang centil dan bikin gemes.  Kepanjangannya Lia Kusuma Dewi.  Enaknya disingkat Laksmi, lebih gaya dan ngota. Kalau dipanjangkan kedengarannya agak norak. Yang punya nama juga pernah protes kepadanya namanya begitu. Padahal nama papa dan mamanya lebih gaya daripada itu.
“Itu bukan nama sembarang orang, lho,” kata Papa menerangkan ketika Laksmi menyampaikan protes tanpa spanduk dan massa untuk demonstrasi.
“Bukan nama sembarang orang atau bukan nama oprang sembarangan, bunyinya kan sama. Laksmi, kedengarannya kampungan, Pa. Cuma nulisnya saja pakai sebutan nama Kusuma biar gaya. Bunyinya sih sama, Laksmi. Kaya nama itu tuh, penjual sayur gendongan yang suka mangkal disebelah!”

“Lain, dong. Orang tua penjual sayur itu ngasih nama anaknya kan sembarangan saja. Laksmi, Bulan, Dewi, Sukreni atau Eni tanpa tau maknanya. Nama Laksmi sih bermutu.”
“Mutunya dimana?”
“Nama itu berasal dari nama seorang sakti dewa Wisnu yang cantik jelita. Laksmi sendiri merupakan dewi yang memberikan kesuburan bagi makhluk di bumi dalam agama Hindu....”
“Oh, hebat kalau begitu.”
“Lebih hebat lagi karena laksmi itu adalah seorang sakti dari Wisnu.”
“Oh!”
Hanya oh. Tapi lumayan, Laksmi tidak kesel-kesel amat sama papanya setelah tahu riwayat nama itu. Meskipun masih agak keki, kenapa memilih nama sakti seorang dewa, kenapa bukan nama yang lain saja. Misalnya Putri, Indah atau yang lainnya. Tetapi nama Indah sudah ada yang memakai. Teman sekelas Laksmi dikelas I-3 di  SMA PGRI itu namanya Indah. Dia orang jawa maksudnya, warga negara Indonesia keturunan Bali.
Di mana si anak Jawa itu sekarang? Laksmi mencarinya pada jam istirahat pertama. Sebelum menemukan Indah, Laksmi ketemu dulu dengan Yoga yang lagi bengong duduk di koridor deretan kelas. Bengongnya Yoga bukan sembarang melongo. Dia ini jaginya elektronika di kelas itu. Ada karyanya yang dipakai sekolah itu sebagai bel masuk atau ganti pelajaran. Bunyinya aneh, seperti siulan burung, sekaligus bunyi kucing kejepit.. kini dalam bengong yang bermutu itu, Yoga sedang merencanakan karya barunya. Entah apa, hanya dia yang tahu dan hanya tuhan yang maha tahu.
“Halo,Ga! Nynyak tidurmu semalam?”
Yoga terlonjak kaget.
“Uh! Bikin kaget saja,Laks!” serunya.
Laksmi tertawa singkat saja. Dia jago bahasa Indonesia. Perkara kalimat-kalimat indah dan mbeling, dia tidak punya lawan di seantero dunia.
“Sapimu sudah beranak, Ga?” tanya Laksmi.
Yoga ingat, tadi laksmi tidak menanyakan soal sapi.
“Sudah,” jawabnya pura-pura nyambung seolah Laksmi memang menanyakan soal sapi sungguhan, “Kamu tahu Laks, anak sapiku akan kukasih nama siapa?”
“Nama Pak Orkes saja. Habis dia suka nyetrap orang!”
“Hus! Ada orangnya, tuh!”
“Mana?”
Laksmi menoleh-noleh mencari Pak Orkes, guru Olahraga & Kesehatan yang suka nyetrap itu. Nama Pak Orkes diberikan oleh laksmi kepada guru yang tidak disukainya itu.Orkes itu singkatan Olahraga & Kesehatan. Laksmi tidak melihat Pak Orkes yang kata Yoga ada di situ.
“Di ruang guru!” kata Yoga.
“Astaga! Siapa nama yang akan kau berikan pada anak sapimu?”
“Laksmi Dewi. Bagus, ya?”
“Bagus lagi kalau dikasih nama Yoga Ananta!”
Yoga tersenyum masam.
Soal mengganti nama orang, laksmi memanag jagonya. Yoga senang, tapi ada yang keki karena namanya diganti. Ayatrohaesyi itu termasuk yang keki seperti Pak Orkes barangkali. Karena nama Ayatrohaesyi itu sulit diucapkan. Dengan enak, Laksmi dengan enak mengganti Katro! Padahal katro artinya kampungan dan bego!
Laksmi bilang begini, “Ah, apa sih artinya sebuah nama? Tulkiyem samaJoice kan sama saja. Yang penting masih bisa pipis!”
Lha yang benar juga. Kalau gak bisa pipis apa gak sengsara? Orang sering lupa, bahwa bisa pipis adalah karunia tuhan yang terbilang mahalnya.
“Jadi kamu bengong karena sedang ngarang nama anak sapimu,Ga?”
“Sedang mikirin teman-teman”
“Sama. Aku juga begitu. Kenapa sih anak-anak pada cemberut saja? Nggak rame kaya biasanya.. ada yang kematian tikus, apa?”
“Indah sedang mikir berat.”
“Berat mikir apa?”
“Rahasia, kali! Dia nggak mau ngomong. Ngga tahu sih kalau kamu yang nanya.”
“Di mana dia?”
“Di depan WC.”
“Lagi ngapain di sana?”
“cari keong racun, kali!”
“Buat bunuh diri?”
“Nggak. Mau diekspor ke Perancis untuk nambah devisa negara.”
Laksmi mengeloyor meninggalkan Yoga. Prcakapan di sini bisa kacau kedengarannya. Tapi begitulah cara mereka berdialog antarsesamanya. Orang luar boleh nggak tahu, anggota kompanyon sih paham-paham saja.
WC itu terletak di bagian sekolah yang agak terkecil. Dengan bangunan-bangunan lain dibatasi oleh lapangan berumput dan rimbunan tanaman bunga yang setiap saat tatanannya berubah.
Laksmi melihat Indah sedang duduk di atas sebongkah batu buatan.Pegang buku terbuka, pegang bolpoin pula. Dia seperti menulis, tapi sekaligus seperti bengong.
“He! Kamu sedang ngabsen orang be’ol, ya?” tegur Laksmi serempak begitu dia nongol di ujung deretan WC.
Yang lagi bengong kaget, tentu saja.
“Oh, kamu! Kirain....”
“Keong racun? Kamu lagi ngapain disini?”
“Riset.”
“Ngitung berapa anak keong racun?”
“Wabah morbili sedang mengganas. Aku mewawancarai setiap pemakai jasa WC.”
“Hasilnya?”
“Lima puluh persen ada indikasi terserang wabah. Dua puluh lima persen kebanyakan saus tomat...”
“Lainnya keracunan tempe bongkrek?”
“Salah! Ada jenis penyakit baru yang belum ditemukan identitas virusnya!”
“Penyakit apa itu? Penurunan isi kantong karena kantin menyediakan bakso formula baru?”
“Semacam itu. Tapi jenis virusnya aneh. Cepat menular. Lihat saja Yoga!”
“Apa gejala-gejala penderitanya?”
“Selalu ngantuk, rahang kaku, mata merah, dan mudah gelisah!”
“Dirawat di mana?”
Green Hopuse Palace.”
“Wah! Gawat itu! Ayo kita besuk!”
Indah bangkit dari tempat duduknya, batu buatan teman sekelasnya itu. Buku matematika digulung dan disodokkan ke dalam saku rok seragamnya. Dia memang sedang mengkaji rumus-rumus matematika yangbaru saja diajarkan Pak Angka.
Gree House Palace terletak di sudut belakang kompleks sekolah. Merupakan bangunan mungil berdinding tua. Beberapa bagian dinding itu berwarna hijau karena lumut. Di sekitarnya tumbuh sri rejeki, kuping gajah, pohon teh-tehan, segala macam tanaman perdu, dan pakis. Maka Laksmi menamakan bangunan dan suasana penuh hijau itu Green House palace tanpa maksud mengejek dan protes terhadap kejorokan pengurus kantin. Bangunan hijau lumutan itulah kantin sekolah. Putri sedang mojok di sana. Ngga makan, nggak ngapa-ngapain. Sekitarnya penuh manusia cuek.
Kehadiran Laksmi membuat kegaduhan pecah serempak. Laksmi seperti bintang di tengah fans saja. Dia berwajah manis tapi yakin bukan itu yang membuatnya top di kalangan teman-teman sesekolah. Ada daya pikat lainnya. Entah apa. Mungkin karena tomboinya. Mungkin juga karena ia pilihan tuhan untuk menyemarakkan dunia. Tingkahnya sering bikin keki, tapi tak ada orang yang benar-benar bisa membencinya.
“Halo, Laksmi! Selamat siang deh, buat kamu!” seru seseorang, anak lelaki.
“Apa kabar  dunia hari ini?” tanya yang lain.
“Masih seperti kemarin. Israel ngotoh belum mau damai sama tetangganya!” sahut Laksmi seenaknya, lalu mendekati Putri.
“Bakso formula ini bikin badan segar, Laks!” seru seorang anak perempuan. “Cobain, deh. Nanti kamu pasti ketagihan.
“Aku bisa bikin bakso dengan resep dari Afrika. Kamu semua diam! Aku sedang menghemat kata-kata, tahu nggak? Kalau kebanyakan ngomong yang nggak mutu, baterainya cepat habis!”
Anak-anak tertawa berderai. Laksmi memang selalu menggemparkan. Padahal dia tidak merasa mengobok-obok suasana, tidak pernah bertingkah  untuk menarik perhatian supaya dirinya tetap top rating.
Putri sendiri segera bangkit dari semua lamunannya. Matanya tampak merah, seperti orang kurang tidur. Tapi sikapnya gelisah. Ia tidak berkata-kata. Seolah rahangnya terbuat dari besi dan engsel-engselnya kurang oli.
“Betul juga hasil risetmu, indah!” kata Laksmi. “Keadaannya sudah parah begini. Harus dikarantinakan. Kalau enggak, virusnya bisa menyebar kemana-mana. Kita semua bakal kena bencana, lho!”
“kamu ngomong apaan, sih?” tanya Putri.
“Ih! Serem, ya? Suaranya seperti lagu kematian!”
Indah tertawa-tawa. Dialah orang pertama yang mengetahui keadaan Putri. Si Centil ceria itu tidak lincah lagi seperti biasanya. Ia menjadi makhluk pengantuk. Matanya merah dan kuyu  seperti kurang tidur. Jarang bicara. Kalau sendirian kadang tampak gelisah. Gejala apa ini? Memang dia tidak penyakitan seperti kata Indah kepada Laksmi. Tapi perubahan sikap Putri itu cukup meresahkan.
Sekarang Putri bangkit.
“Jngan macam-macam! Kata Putri tiba-tiba, aku sedang pusing mikiran keluargaku.”’
“Oh jadi kau sudah berkeluarga? Kok aku gak pernah terima undangan? Ih, jahat kamu!” sahut Laksmi, berlagakpenuh sesal sungguhan.
Putri tidak mengacuhkan ledekan Laksmi. Ia melanjutkan ucapannya, “Aku lagi sedih, bpak di-PHK dari kantornya.”
“Oh!” kali ini Laksmi kaget sungguhan. Belakangan ini tiga huruf yang diberendengkan itu sangat populer. Artinya, Pemutusan Hubungan Kerja. Orang yang di-PHK itu celaka. Alamat anak-anaknya bakal nggak bisa makan bakso, bayar SPP, atau malah nggak bisa sekolah. Dulu istilahnya lebih sadis lagi : dipecat. Tapi sadis atau tidak, akibatnya sama saja.
“Kapan itu, Put?” tanya Laksmi prihatin.
“Sudah lama. Hampir setengah tahun.”
“Lho! Kok kamu baru kasih tahu sekarang?” cetus Laksmi. Kali ini juga penuh sesal sunggguhan.
“Aku nngak ingin bikin kalian ikut sedi9h. Habis ngapain ikut sedih? Kalian juga nggak bisa apa-apa, kan?”
“Kenapa ayahmu dipecat dari pekerjaannya? Korupasi, ya?” tanya Laksmi, tanpa maksud mengejek. Sebab dia tahu ayah Putri bukan potongan koruptor.
“Lumayan kalau bapak korupsi. Biar dipecat  juga punya modal. Kamu tahu kan, bapak hanya pegawai rendahan dipabrik pipa?”
“sekarang tahu, karena kamu kasih tahu.”
“Pabrik pipa itu mengalami kesulitan karena berkurangnya pesanan. Jumlah pegawainya dikurangi. Bapak termasuk pegawai yang kena sial.”
“Gila! Punya orang mana tuh pabrik pipa itu?”
“Indonesia.”
“Oh. Kukira punya orang asing. Mending kita ngajak perang aja pemiliknya kalau pemiliknya orang asing.”
“Ini serius, Laks!” kata Indah “jangan main-main!”
“Aku juga serius! Lalu setiap malam kau ngelamun, makanya wajahmu kusut kaya kuntilanak mejen begini?”
Nadila tidak menjawab pertanyaan itu.nadila tampak semakingelisah. Ada ssuatu yang dicemaskannya. Itu terlihat  dari kepalanya yang menunduk, lehernya yang menegang, dan dadanya yang turun naik dengan irama tidak tetap.
“Sudahlah, Put,” hibur Indah, “jangan terlalu dipikirkan. Nanti juga ada jalan keluarnya. Eh... maksudku... nanti juga ayahmu kerja lagi.”
“Bapak tidak punya keahlian apa-apa,” kata Indah pilu, “Bapak hanya bisa jadi pekerja kasar...”
Indah kehabisan kata-kata untuk menghibur Putri. Ketika ketemu Yoga di depan kelas, Laksmi hanya mengerdikkan bahunya. Disudut kelas itu Ayatrohaesyi diam. Sesaat bertukar pandangan dengan Laksmi.
“Gue sudah tahu semuanya!” serunya. Tapi kata-kata itu hanya diserukan dalam hatinya. Mulutnya tetap tertutup. Duka Putri ini sungguh serius. Kusutnya wajah Putri juga misterius. Setengah ahun yang lalu bapaknya jadi penganggur, tapi kenapa baru sekarang ia tampak begitu loyo dan selalu mengantuk? Ayatro tidak mau banyak bicara. Tapi ia punya cara untuk menyingkapkan misteri.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com